Konsep HTI dalam Siyasah Perpolitikan Indonesia

Salah satu fenomena baru dari keragaman Islam yang kini muncul di Indonesia ialah gerakan yang memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam kehidupan Negara atau permerintah. Gerakan Islam ini secara khusus disebut dengan istilah gerakan Islam Syariat, yaitu suatu gerakan yang berusaha dengan gigih untuk memperjuangkan Syariat Islam dalam institut Negara atau pemerintah.
Organisasi baru ini berbasis ideologi pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya. mereka memiliki karakter yang lebih militan, radikal, spritualis, konservativ, dan ekslusif. Berbagai ormas baru memang memiliki platform yang beragam, tetapi pada umumnya memiliki kesamaan visi, yaitu pembentukan Negara Islam (Daulah Islamiyah) dan mewujudkan penerapan syariat Islam, baik dalam wilayah masyarakat, maupun Negara.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan salah satu organisasi masyarakat Islam Indonesia yang menganut pada paradigma pertama, karena menurut Hizbut Tahrir bahwa Islam adalah suatu agama yang lengkap dengan petunjuk, yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk mengatur aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam

menjadi bagian integral dari Negara, sebab Negara yang memiliki tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat atau rakyat jelas tidak bisa mengabaikan orang-orang yang beragama.

Hizbut Tahrir didirikan sebagai harokah Islam yang bertujuan mengembalikan kaum muslimin untuk kembali taat kepada hukum-hukum Allah SWT, memperbaiki sistem perundangan dan hukum Negara yang dinilai tidak Islami agar sesuai dengan tutntutan syariat Islam, serta membebaskan dari sistem hidup dan pengaruh Negara barat. Hibut Tahrir juga bertujuan membangun kembali pemerintahan Islam warisan Rasulullah SAW dan Khulafaurrrasyidin di dunia, sehingga hukum Islam dapat di berlakukan kembali (An Nabhani, 2001: 8-9).
 Dalam kitab Attakatol Alhizby dijelaskan bahwa sebuah gerakan Islam, sudah semestinya bertumpu hanya pada ideologi (mabda’) Islam. Sebab, falsafah kebangkitan yang hakiki itu tiada lain adalah ideologi islam, yang mengintegrasikan fikrah dan thariqah Islam secara terpadu. Ideologi Islam harus di dakwahkan, lalu ditegakkan Daulah Islamiyah di sebuah negeri untuk menerapkan ideologi Islam secara total. Selanjutnya, Daulah Islamiyah itu akan terus meluas meliputi seluruh negeri-negeri Islam.
 Ideologi Hizbut Tahrir berkembang secara alami dalam dua jalur: Pertama, melalui perkalian, ia akan menghasilkan sel-sel lain yang merangkul ideologi dengan kesadaran penuh dan pemahaman. Dan kedua, dengan menciptakan dan membangun kesadaran umum tentang ideologi di seluruh umat (An Nabhani, 2001: 22-23). Kesadaran umum tentang ideologi akan mengarah pada penyatuan pikiran, pendapat, dan keyakinan di dalam mayoritas jika bukan keseluruhan umat. Oleh karena itu, tujuan umat, serta keyakinannya (qana'aat) dan pandangan hidupnya, akan disatukan. Oleh karena itu, Hizbut Tahrir akan berfungsi sebagai peleburan, yang akan melelehkan Umat dan menyucikannya dari gagasan tidak murni dan korup yang menyebabkan kemunduran umat, atau berkembang selama era kemunduran. Hizbut Tahrir harus melakukan proses peleburan ini di dalam ummat, sehingga mengarah pada kebangkitan umat.
 Secara historis sejatinya Hizbut Tahrir tak langsung muncul dengan tujuan mendirikan Khilafah Islamiyah. Tujuan awal mereka adalah Nasionalisme Palestina saat Israel mulai mengadakan invasi militernya (An Nabhani, 2001: 3). Namun mereka beralih dan meningkatkan level perjuangan yaitu mendirikan Khilafah. Hal ini berangkat dari sebuah paradigma ingin mengembalikan kejayaan Islam dari belenggu penjajahan. Dan menurut mereka cara terbaik adalah mendirikan Khilafah Islamiyah yang telah runtuh di Turki pada tahun 1924. Pada titik ini, sebenarnya terjadi konvergensi antara Hizbut Tahrir dengan umat Islam secara umum, keduanya merindukan kejayaan Islam. Hanya saja, cara yang dipakai Hizbut Tahrir terkesan radikal, berbeda dengan paradigma lain.
 Untuk menempuh sebuah Negara Khilafah yang berbasis pada Daulah Islamiyah, menurut mereka terdapat tiga tahap yang harus ditempuh. Pertama, mendirikan Negara. Kedua, kaderisasi. Ketiga, kudeta politik (An Nabhani, 2001: 30-53). Dari tahap pertama mereka berambisi untuk melindungi eksistensi umat Islam dari hegemoni barat. Untuk menjaga militansi gerakan ini dan mewariskan ideologi khilafah ini, mereka melakukan kaderisasi kaum muda yang telah di gembleng untuk meneruskan  perjuanganya. Jika dirasa memiliki kekuatan yang cukup di Negara tertentu, Indonesia misalnya, mereka dengan tegas untuk melakukan kudeta politik (penggulingan kedaulatan pemerintahan dalam suatu Negara). Dan tentunya ini sangat berbahaya bagi kedaulatan NKRI.
 Hibut Tahrir adalah sebuah organisasi keagamaan yang cenderung berada dalam kancah politik, bersifat ideologis dan sangat ambisius untuk memperjuangkan dakwah Islam seperti masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin. Oleh sebab itu, mereka ingin sekali membentuk pemerintahan yang bernuansa Islami dengan doktrin Ideologis mereka. Pemerintahan tersebut tak lain adalah Khilafah, dan dipimpin oleh seorang Khalifah.
 Khilafah secara etimologis memiliki arti pergantian, dari kata khalafa yakhlufu. Khalifah adalah orang yang mengganti orang lain dalam mengemban sebuah amanat tertentu baik pergantian karena kematian yang diganti, kepergianya, ketidakmampuanya atau karena berdasarkan sebuah ketulusan niat penghormatan dari yang diganti kepada yang mengganti (kamil, 2005: 4).
 Sementara dalam terminologi Fiqh Siyasah Islam, Khilafah dapat disimpulkan sebagai upaya mengarahkan seluruh umat manusia atas dasar pandangan syariat yang meliputi semua bidang kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia. Khalifah juga dapat disebut sebagai imamah, sebuah istilah yang popular dalam pemahaman orang syiah. Disebut imamah karena menyerupai imamah dalam sholat jamaah dimana makmum harus mengikuti imam. Jadi, dalam teori Fiqh Siyasah, seorang khalifah atau imam bertugas sebagai pengganti Nabi dalam menjaga Agama dan mengatur dunia dengan Agama (Samsuddin, 2013: 74). Berpijak dari tujuan inilah, mayoritas Ulama’ mewajibkan tegaknya pemerintahan sebagaimana yang dilakukan para sahabat Nabi sesaat setelah Nabi Wafat .
 Dalam kitab suci Alqur’an, kata Khilafah dalam bentuk tunggal disebutkan dua kali. Yaitu dalam surat Al Baqarah: 30
واذقال ربك للملائكة اني جاعل فى الارض خليفة
dan ketika tuhanmu berkata pada Malaikat, “aku akan menciptakan di bumi ini seorang Khalifah
Yang kedua dalam surat Shad: 26
يداووداناجعلنك فى الارض فاحكم بين الناس باالحق ولاتتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله
wahai Dawud, aku telah jadilan dirimu Khalifah di bumi ini, maka tegakkan hukum di tengah-tengah manusia dengan kebenaran, jangan mengikuti hawa nafsu sehingga menyesatkanmu dalam menempuh jalan tuhanmu
 ”.
 Dalam surat Al Baqarah: 30 para Ulama’ berbeda pendapat dalam menafsirkan kata Khalifah. Ada tiga pendapat yang disimpulkan Imam Mawardi. Pertama, Khalifah adalah Nabi Adam dan seluruh manusia, yang diciptakan oleh Allah untuk mengganti makhluk penghuni bumi sebelumnya. Kedua, Khalifah adalah seluruh anak cucu Nabi Adam AS. Mereka diciptakan dari generasi ke generasi, yang baru menggantikan yang lama, mereka hidup secara berkesinambungan. Ketiga, Khalifah adalah Nabi Adam dan sebagian anak cucunya, diciptakan Allah menjadi pengganti dalam member keputusan hukum diantara manusia.
 Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa khalifah, khulafa atau khalaif, dalam istilah Quran disimpulkan sebagai manusia atau kumpulan manusia yang mampu mengemban amanah keadilan dalam memakmurkan bumi, sehingga mereka menjadi manusia yang patut menggantikan generasi sebelumnya sebagai umat yang maju peradabanya dan menjadi poros dunia.
 Dalam persoalan Khilafah, Hizbut Tahrir dengan tegas menolak konsep Duwailat (Negara-negara kecil). Bagi mereka Duwailat akan melemahkan kekuatan Islam karena terbagi sesuai kawasan teritorial. Oleh sebab itu, Hizbut Tahrir mengandaikan sebuah peleburan mutlak di pelbagai belahan dunia untuk kemudian mendirikan  satu Negara yang dipimpin oleh satu orang, yaitu Khalifah. Hizbut Tahrir juga meyakini bahwa yang berhak membuat undang-undang Negara adalah Khilafah. Hal ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa Khalifah adalah wakil tuhan di bumi ini. Jika logika ini diteruskan maka suara Khalifah adalah suara Tuhan, pegawainya pegawai Tuhan, mentrinya mentri Tuhan, begitu seterusnya. Tentunya karena mereka adalah wakil Tuhan, maka mereka enggan menerima kritik dan tak dapat diturunkan. Padahal sistem teokrasi ini sangat berbahaya karena akan membuka peluang yang besar tebentuknya pemerintahan despotis tirani yang tentunya membahayakan rakyat, khususnya umat Islam.
 Selain itu, pandangan-pandangan Hizbut Tahrir yang cukup aneh dan bersifat diskriminatif antara lain adalah penolakan mereka terhadap peran kontribusi non muslim di parlement. Hizbut Tahrir juga tidak memberikan hak suara pilih bagi non muslim dalam pemilu. Jadi mereka memandang non muslim sebagai kelas dua dalam sebuah Negara. Hal ini menunjukkan bahwa Hizbut Tahrir memiliki doktrin yang sangat berbahaya dan bersifat diskriminatif.
 Kemudian di Indonesia muncul Hizbut Tahrir Indonesia yang kita kenal dengan sebutan HTI. Tidak sekadar jumlah massa yang fantastis, tapi yang menggetarkan dalam subuah momentum adalah HTI kini dengan lantang menyerukan Khilafah di tengah-tengah rakyat Indonesia yang menganut konsep demokrasi. Padahal konsep Khilafah tentu sangat berbeda dengan konsep demokrasi yang ada di Indonesia. Pihak HTI pun merasa sukses, tidak semata-mata pada penyelenggaraan acaranya, namun yang lebih penting adalah keberhasilanya dalam mengibarkan bendera Khilafah di Indonesia.
 HTI merupakan sebuah organisasi yang mempresepsikan Islam yang diyakini sebagai lembaga yang serba sempurna, termasuk dalam sistem politik yang tinggal mempraktekanya. Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang khas dengan ideologi Islam dan perundang-undangan yang bertendensi pada Alqur’an dan Hadist. Tegaknya khilafah diyakini mampu menegakkan syariat Islam dan mengembangkan dakwah keseluruh dunia. Mereka berobsesi ingin memboyong masa kegemilangan peradaban Islam untuk bisa di praktekkan saat ini dengan dalih untuk mempersatukan umat Islam di dunia. Mereka pun tergelap dalam glorifikasi sejarah  Islam pada masa Rasulullah Saw dan Khulafaurrasyidin.

Daftar Pustaka
Alqur’an dan Terjemahnya, Kudus: Menara Kudus
Taqiyuddin An Nabhani, Attakatol Alhizbi, HTI press 2007
Taqiyuddin An Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, cetakan 6, HTI press, 2001
Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Islam, Edisi Mu’tamadah, HTI press, 2006
Samsuddin, Rapung, Fiqh Demokrasi, menguak kekeliruan pandangan haramnya umat terlibat pemilu dan politik, Jakarta: Gozian Press, Pustaka Al Kautsar
Saf’an, Kamil, Kontroversi Khilafah dan Negara Islam, Kairo: Darr Al Misriyyah Al Lubnaniyah
http://pedangideologis.blogspot.com   ` 
http://mobile.facebook.com/notes/warga-nahdliyin-dukungpancasila-tolakkhalifah 

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement