Implikasi Dualisme Delik dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi

 Oleh: Muhammad Ainin Ni'am

Disahkannya Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) merupakan salah bentuk tanggung jawab negara dalam rangka pemenuhan (to fullfil), penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara. Perlindungan data pribadi masuk dalam kategori HAM karena besar kemungkinan Data Pribadi ini disalahgunakan yang berujung pada kerugian bagi subjek data pribadi ini.[1] Meningkatnya pengguna sistem elektronik dan media sosial menjadi salah satu indikator pembentukan undang-undang ini, ditambah dengan perilaku masyarakat Indonesia yang acuh terhadap kasus penyalahgunaan data pribadi, bahkan itupun berlaku juga pada data pribadi miliki mereka sendiri. Di Rusia misalnya, perlindungan data pribadi sudah diakomodir oleh negara sejak 1993, hal tersebut tercantum dalam Konstitusi Rusia di dalam paragraf 1 artikel 23 yang menyatakan “to privacy, to personal and family secrets, and to protection of one’s honor and good name”.[2] Kekosongan hukum dalam perlindungan data pribadi yang cukup lama membuat masyarakat mengalami kekacauan dan kebingungan mengenai regulasi apa yang harus diterapkan dalam mengatasi penyalahgunaan data pribadu. Akhirnya karena lambatnya regulasi itu mengakibatkan suatu custom menjadi suatu hal yang lumrah. Hal ini menjadi tantangan dalam efektivitas regulasi UU PDP untuk menekan pelanggaran-pelanggaran data pribadi.  [3]

UU PDP memberikan batasan masyarakat khususnya kepada pengendali dan operator data pribadi untuk menyesuaikan dengan ketentuan yang ada di dalamnya. Walaupun badan hukum maupun badan usaha bisa memahami konteks dan substansi dalam undang-undang tersebut, hal ini bisa berbeda bagi masyatakat luas yang belum tahu ketentuan UU PDP tetapi menganggap pelanggaran PDP merupakan suatu hal yang lumrah. Masyarakat akan susah untuk beradaptasi dengan kebiasaan yang revolutif. Kondisi ini akan memicu banyaknya masyarakat yang akan dipidana. Akses data pribadi yang mudah ditambah dengan perilaku pelanggaran yang dinormalisasi, mungkin akan membuat suatu dilema baru.  

Permasalahan utamanya ialah jenis atau kualifikasi delik dalam UU PDP ini memiliki dua bentuk. Ketentuan itu dapat diidentifikasi melalui nomenklatur yang terdapat pada pasal 60 mengenai kewenangan lembaga penyelenggara perlindungan data pribadi dalam huruf i dan j yang menjelaskan bahwa suatu lembaga berwenang untuk melakukan pemeriksaan dan penelusuran atas pengaduan, laporan, dan hasil pengawasan terhadap dugaan terjadinya pelanggaran perlindungan data pribadi.[8] Nomenklatur tersebut secara tidak langsung memberikan ketentuan pidana yang memiliki kualifikasi ganda yakni delik aduan dan delik biasa. Menurut R. Tresna dalam buku Azas-azas Hukum menjelaskan mengenai perbedaan pelaporan dan pengaduan, jika delik biasa maka laporan tidak termasuk syarat penuntutan, berbeda dengan delik aduan yang mana aduan ini menjadi syarat penuntutan. Selain itu perbedaan mendasar dari kedua delik ini adalah jika delik biasa semua orang berhak melapor walaupun tindakan pelaku tidak merugikannya, dan ketika pelapor mencabut laporannya, penyidik akan tetap mendalami kasus tersebut. Sedangkan delik aduan, hak pengaduan hanya diberikan kepada korban. Apabila aduannya dicabut maka kasus tersebut juga tidak bisa ditindaklanjuti. [4]

Dualisme delik ini berimplikasi terhadap ketidakjelasan prosedur yang nanti akan diproses oleh aparat penegak hukum. Ketika ada orang yang ingin menyampaikan pelanggaran perlindungan data pribadi ke aparat penegak hukum, akan muncul pertanyaan apakah orang ini mengajukan pelaporan atau pengaduan. Jika delik aduan maka berhak mengajukan hanya orang tertentu saja, sedangkan UU PDP tidak menjelaskan secara rinci siapa yang berhak mengadu terkait pelanggaran tersebut. Biasanya hak mengadu diberikan kepada pihak yang dirugikan seperti yang tercantum dalam beberapa delik di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Seperti contoh dalam pasal 284 terkait Tindak Pidana Perzinahan dalam ayat (2) menjelaskan “Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 Burgerlijk Wetboek, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga”. Di dalam ketentuan tersebut pihak yang berwenang melakukan penuntutan dicantumkan secara jelas di dalam pasal 284 yakni suami/istri. Sedangkan dalam UU PDP ini tidak dicantumkan secara jelas.[5]

Kasus ini serupa dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Tranksaksi Elektronik  (ITE). Di dalam UU ITE juga tidak dicantumkan secara jelas kualifikasi delik biasa atau aduan sehingga menimbulkan permasalahan dalam penerapannya. Hal ini mencapai titik terang saat MK mengeluarkan putusan Nomor 50/PUU-VI/2008, bahwa pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dalam UU ITE ini termasuk dalam delik aduan dengan pertimbangan keberlakuan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak lepas dari norma hukum pokok yang terdapat dalam pasal 310 dan 311 KUHP sebagai genus delict yang memberikan syarat adanya pengaduan ketika ada pelanggarann pencemaran nama baik pada sistem elektronik. [6]

Jika kualifikasi pelanggaran perlindungan data pribadi ini adalah delik biasa, maka konsekuensinya adalah banyaknya laporan yang akan masuk ke kepolisian atau lembaga perlindungan data pribadi. Karena normalisasi dari pelanggaran perlindungan data pribadi ini banyak masyarakat yang akan dipidana. Seseorang akan sangat mudah di pidana asal tindakannya memenuhi persayaratan yang ada dalam rumusan undang-undang walaupun pelapor bukan korban yang dirugikan.  Sebelumnya hal ini juga berlaku dalam penerapan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE sehingga banyak orang yang dilaporkan. Fenomena ini memicu kekacauan bahkan menurunkan indeks demokrasi Indonesia saat itu. Permasalahan maraknya kriminalisasi pelaporan pencemaran nama baik karena delik yang digunakan adalah biasa dan formil. Jadi setiap orang baik dia dirugikan atau tidak bisa melapor sepanjang tindakan orang yang dilaporkannya memenuhi rumusan delik secara formil. Hal inilah yang mengakibatkan banyaknya kesalahpahaman pada masyarakat saat itu. [7]

Maka dari itu dari dualisme delik yang ada di UU PDP ini diharapkan bisa dimuat penjelasan lebih lanjut mengenai apakah ketentuan pidananya termasuk delik biasa atau delik aduan. Karena hal ini akan berimplikasi kepada rumitnya prosedur penegakan hukum. Penyelidik atau penyidik akan susah untuk memberikan prosedur yang pasti kepada masyarakat. Sehingga untuk menjamin stabilitas yang ada di lingkungan masyarakat diperlukan suatu mekanisme ideal yang mampu memberikan perlindungan kepada subjek data pribadi dan masyarakat pada umumnya.[8]



[1] David Jason Karp, What is the responsibility to respect human rights? Reconsidering the ‘respect, protect, and fulfill’ framework, (International Theory 2020): 83-108.

[2]  Daniel Daniel and Irene ByhovskyPrivacy and Data Protection in Russia, (JL & Cyber Warfare 5 2016): 235.

[3] Nasir, Gamal Abdul,  Kekosongan Hukum & Percepatan Perkembangan Masyarakat, (Jurnal Hukum Replik 5.2 2017): 172-183.

[4] Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. (2022). Perbedaan Pelaporan dan Pengaduan. https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-pelaporan-dan-pengaduan-lt4f8ead4dd8558 Diakses pada 19 November 2022

[5] Tim Hukum Online. (2021). Perbedaan Delik Biasa dan Delik Aduan Beserta Contohnya. https://www.hukumonline.com/berita/a/delik-aduan-lt61b44d64b2813?page=all Diakses pada 19 November 2022  

[6] Hikmawati, Puteri. "Ancaman Pidana Terhadap Delik Penghinaan Dalam UU ITE." Badan keahlian DPR RI (2016).

[7] Damar Krista, Perbandingan (De) Konsolidasi Demokrasi Studi Penurunan Kualitas Demokrasi Di Indonesia Dengan Filipina Periode 2016-2020. BS thesis, (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2022).

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement